BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia filsafat terus mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Dari zaman Yunani Kuno, yakni ribuan tahun yang lalu atau zaman sebelum masehi hingga saat ini telah banyak perubahan-perubahan baik dari tema-tema permasalahannya maupun dari pemikiran-pemikiran para filsufnya. Dari filsafat kuno yang permasalahannya masih seputar materiali, berkembang menjadi pemikiran abad pertengahan yang di dominasi pemikiran praskolatisisme, skolatisisme, mitisisme. Setelah itu terjadi lagi peralihan pemikiran ke masa transisi yang menjadi tonggak pemikiran modern. Setelah masa ini, terjadi lagi lompatan pemikiran ke masa pencerahan (engligtement). Dan hingga kini berakhir pada filsafat modern yang pemikirannya bergelut pada persoalan seperti realisme, neo-dealisme, pragmatisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitik, dan lain-lain.
Di sini akan dibahas pada satu pemikiran yang menitik beratkanpersoalannya pada eksistensi manusia. Di dalam eksisitensialisme sendiri terdapat beberapa orang tokoh atau filsuf, seperti Soren Kierkegaard, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, serta Paul Sartre.B. Rumusan Masalah
- Apa yang disebut dengan eksistensialisme?
- Bagaimanakah eksistensialisme menurut para tokoh filsuf?
- Ada berapa stadia hidup menurut Kierkegaard?
C. Tujuan
- Memenuhi tugas pembuatan makalah pada mata kuliah Filsafat Umum.
- Menambah wawasan tentang eksistensialisme baik secara umum maupun menurut beberapa tokoh filsuf.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT EKSISTENSIALISME
A. Eksistensialisme
1. Beberapa Sifat Eksistensialisme : Gerakan Protes
Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Terdapat erbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa dikelompokkan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipunbegitu terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis. Pertama, eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Dalam satu segi esksistensialisme merupakan suatu protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel.
Dalam sistem-sistem tersebut, jiwa individu atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal.Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap Konsep-konsep akal dan alam yang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18. Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan, semua itu adalah pokok dari eksistensialisme.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman sekarang. Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang seorang kepada mesin; begitulahgambaran faham eksistensialis, manusia adalah dalam bahaya menjadi alat,
komputer atau obyek. Saintisme hanya melihat tindakan luar dari manusia dan
menginterpretasikan manusia hanya sebagai suatu bagian dari proses fisik.
Eksistensialisme juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis atau lain-lainnya yang condong untuk menghancurkan
atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
2. Diagnosis: Tentang Predikmen (Kedudukan Sulit) dari Manusia
Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa
kedudukan manusia yang sulit. Dalam hal ini, eksistensialisme merupakan
penekanan kembali terhadap beberapa pikiran yang terdahulu. Beberapa pengikut
eksistensialisme mengatakan bahwa gerakan tersebut bukan hanya bersifat lama
dan modern akan tetapi bersifat abadi. Eksistensialisme sebagai suatu unsur yang
universal dalam segala pemikiran adalah usaha manusia untuk melukiskan
eksistensinya serta konflik-konflik eksistensi tersebut, asal mula konflik tersebut,
serta upaya untuk mengatasinya. Di mana saja kedudukan manusia sulit
dilukiskan baik secara teologi maupun secara filsafat, baik secara puitis atau
secara seni, di situlah didapatkan unsur-unsur eksistensialis.
Sebagai gerakan modern, eksistensialisme terkenal pada abad ke-20. Pada
abad ke-19, beberapa pemikir yang kesepian seperti Kierkegaard dan Nietzsche
meneriakkan protes mereka dan mencatatkan perhatian mereka kepada kondisi
manusia. Selama abad ke-20, ekspresi perhatian terhadap perasaan keterasingan
manusia serta kehilangan arti hidup, menjadi teriakan umum. Dalam istilah
mereka, manusia tidak merasa berada di rumah di dalam alam di mana ia harus
membuat rumah.
3. Keyakinan Bahwa Eksistensi Adalah Yang Terpenting
Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau
pendorong adalah untuk hidup dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang
manusia diakui seperti itu, ia akan memperoleh arti dan makna dalam kehidupan.
Tempat bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya
yang langsung, dan kesadaran tersebut tak dapat dimuat dalam sistem atau dalam
abstraksi. Pemikiran yang abstrak condong untuk menjadi impersonal dan
menjauhkan seorang dari rasa manusia yang kongkrit dan rasa berada dalam
14
siatuasi manusia. Realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat
dalam 'I' dan bukan dalam 'it'. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah
dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filosof Denmark, Soren Kierkegaard
umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan
oleh akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh; ia gagal
untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni,
akan tetapi ia adalah seorang-orang yang ada (existing individual).
Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi.
Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu;
eksistensi menunjukkan kepada 'suatu benda yang ada di sini dan sekarang'.
Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi
bagi kelompok eksistensialis, kata kerja 'to exist' mempunyai isi yang lebih positif
dan lebih kaya daripada kata kerja 'to live'. Kadang-kadang orang mengatakan
tentang orang yang hidup kosong dan tanpa arti bahwa 'ia tidak hidup, ia hanya
ada'. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan 'orang itu
tidak ada, ia hanya hidup'. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh,
tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang.
Istilah esensi adalah sebaliknya dari eksistensi, yakni sesuatu yang
membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah
yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara
umum oleh macam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu
dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh
benda itu pada suatu waktu. Kita membedakan antara benda itu apa?, dan itukah
benda itu?. Yang pertama adalah esensi, yang kedua adalah eksistensi. Benda
yang saya pegang di tangan saya, esensinya adalah pensil; dan pensil ini, yang
saya rasakan dengan indra saya, ada (exist).
Jika seseorang telah memahami ide atau konsep esensi suatu benda, ia
akan dapat memikirkannya tanpa memperdulikan tentang adanya. Bagi Plato dan
beberapa pemikir lainnya konsep 'mansia' mempunyai realitas yang lebih daripada
seorang manusia yang bernama John Doe; mereka mengatakan partisipasi dalam
ide atau bentuk (form) atau esensi, yakni kemanusiaan, adalah menjadikan
14
seseorang itu manusia. Para eksistensialis menolak pandangan Plato tersebut dan
mengatakan bahwa ada suatu hal yang tak dapat dikonsepsikan, yaitu tindakan
pribadi untuk ada (personal act of existing). Mereka menegaskan bahwa eksistensi
adalah keadaan yang pertama.
Jean Paul Sartre, penulis dan filosof Prancis mengatakan bahwa
pernyataan-pernyataan 'eksistensi sebelum esensi' (existence comes before
essence) adalah dasar bersama bagi kaum eksistensialis, tetapi filosof
eksistensialis lainnya tidak mengatakan begitu. Apakah arti eksistensi sebelum
esensi? Sartre menerangkan: 'Jika kita melihat sebuah pisau kertas, kita tahu
bahwa pisau tersebut telah dibuat oleh seseorang yang mempunyai konsep pisau.
Jadi sebelum pisau itu jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu benda
yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu pula.
Dengan begitu maka esensi pisau kertas telah ada sebelum pisu itu ada. Mengenai
manusia, keadaannya berlainan, ia ada dan baru kemudian eksistensinya tampak.
4. Tekanan Kepada Pengalaman Subyektif dari Manusia
Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan
pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subyektif.
Eksistensialis berkata: Tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang
mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran dan
keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang
segala bentuk obyektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang
mengenai manusia.
Obyektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan
masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung untuk
menganggap manusia sebagai nomor dua sesudah benda. Kehidupan pada
umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi
secara obyektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan
tidak berarti. Sebaliknya, eksistensialisme menekankan kehidupan dalam manusia
dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan
tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan
14
manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas
keistimewaan pengalamannya yang subyektif.
Eksistensialis mengatakan bahwa kebenran adalah pengalaman subyektif
tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang
watak manusia dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan
dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi
(pernyataan). Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan
menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan
atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek
yang kongkrit dan intim dari pengalaman manusia, atau sesuatu yang istimewa
dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau benda-
benda seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan
dan keadaan hati manusia.
5. Pengakuan Terhadap Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subyektivitas telah
membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung-
jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas
biologi atau lingkungan, tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam
eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya,
atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat
impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan dan keputusan
keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan
keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia
yang menghilangkan artinya.
Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan,
kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai
kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat mema-
haminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta
mengeksresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan,
menetapkan keputusan-keputusan serta bertanggung jawab tentang semua itu. Di
14
atas semua itu, manusia harus menerima tanggung jwab tentang keputusan-
keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang.
B. Tokoh Eksistensialisme
1. Soren Kierkegaard (1813-1855).
Soren Kierkegaard dianggap sebagai pendiri aliran eksistensialisme. Bagi
Kierkegaard persoalan yang pokok dalam hidup adalah soal: Apakah artinya
menjadi seorang Kristen? Ia tidak memperhatikan 'wujud' secara umum, tetapi
memperhatikan eksistensi orang seorang. Ia mengharap agar seseorang bisa
nenjadi pengikut agama Kristen yang otentik. Kiekegaard berpendapat ada dua
musuh bagi agama Kristen. Pertama, filsafat Hegel yang berpengaruh pada waktu
itu. Ia berpendapat bahwa pemikiran abstrak, seperti dalam bentuk filsafat Hegel,
akan menghilangkan personalitas manusia dan akan membawa kefakiran tentang
arti kehidupan. Kierkegaard menyerang Hegel karena menulis tentang 'pikiran
murni' (pure thought). Ia menyatakan bahwa pikiran murni adalah lucu, karena
merupakan pikiran tanpa pemikir. Kierkegaard sangat tidak suka kepada usaha-
usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal dan tidak
suka pembelaan kepada agama Kristen yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Musuh kedua dari agama Kristen adalah adat kebiasaan (convention),
khususnya adat kebiasaan para pengunjung gereja. Seorang anggota gereja yang
biasa dan tidak berpikir mendalam mungkin merupakan seorang pegawai negeri
yang baik, tetapi ia tidak menghayati agamanya. Ia memiliki agama yang kosong
dan mungkin ia tidak mengerti apa arti seseorang menjadi atau menganut agama
Kristen. Kierkegaard sangat kritis terhadap dunia Kristen, khususnya gereja-
gerejanya, pendeta-pendetanya dan ritual-ritualnya. Ia melawan kehadiran faktor
perantara (pendeta, sakramen, gereja) yang menjadi penengah antara seorang yang
percaya dan Tuhan.
Menurut Kierkegaard ada suatu jurang yang tidak bisa dijembatani antara
Tuhan dan alam, antara Pencipta dan makhluk. Tuhan berdiri di atas segala
ukuran sosial dan etika, bagaimanakah seorang manusia menghilangkan jurang
pemisah ini? Untuk membiarkannya dalam kesangsian berarti membiarkannya
14
mengalami kekhawatiran eksistensial. 'Tiap orang yang belum merasakan
pahitnya rasa putus asa telah kehilangan arti kehidupan; walaupun ia hidup
dengan senang dan indah'. Jika seseorang berada dalam kekhawatiran, ia harus
meninggalkan akal dan memeluk keyakinan. Dalam loncatan keyakinan yang
dahsyat (leap of faith) manusia memeluk hal yang tidak masuk akal. Agama
Kristen mengambil langkah raksasa langkah menuju yang tidak masuk akal disana
agama Kristen mulai. Bagi Kierkegaard iman adalah segala sesuatu. Manusia itu
memihak kepada Kristen atau memusuhinya, memihak kepada kebenaran atau
memusuhinya. Kierkegaard menyatakan bahwa apa yang diperlukan sekarang ini
bukan pemikiran akan tetapi passi atau keinginan besar (passion). Pengetahuan
tentang fakta tidak dapat mengatasi cacatnya pendorong atau kemauan.
2. Martin Heidegger (Lahir 1889)
Barulah tiga perempat abad kemudian lahir penganut yang mahir ialah
Martin Heidegger, yang menerangkan dalam analisanya, bahwa eksistensi
manusia yang disebutya Dasein itulah yang di anggap menjadi permualaan yang
benar untuk ontologia atau pengetahuan (filsafat) tentang ada.
Dengan amat singkat jalan pikiran HEIDEGGER adalah sebagai
berikut:adanampak pada eksistensi akudalam anasir dasar yang tertentu, yang
disebutnya aksistenzialen, misalnya sebagai ada di dunia. Segala sesuatu yang
merupakan dunia, artinya bukan aku, aku ini lagi menyelenggarakannya.
Penyelenggaraan inipun eksistenzial. Dalam perhubungan yang mengandung
penyelenggaraan padahal di dunia ini aku kehilangan diri sendiri, maka aku
merendahkan diri padahal itu dan adalah aku dengan tidak sesungguhnya. Aku
dapat mengatasi kerendahan karena takut, takut pada kepapaan sekarang yang
berhari-harian dan amat sederhana ini, takut pada pertanyaan ‘dari mana’ yang
terliputi di masa dulu, takut pada terhempas ke arah masayang akan datang dan di
situ ada akuterjun kemaut. Maka ternyatalah kepadanya, bahwa eksistensi
manusia itu tidaklah lain dari pada menuju ajalnya: ‘Dasein’ ialah ‘Sein Zum
Tode’. Di mana-mana aku alami ketiadaan dalam dasein itu. Hal ini memberikan
kepda Dasein itu corak kemustahilan dan tak-bertujuan. Tetapi jika aku hendak
14
bertahan diri pada Dasein itu, maka datanglah aku dari ada yang tidak sebenarnya
pada ada yang sesungguhnya dan asli. Pertanyaan eksistensi yang lebih tinggi,
ialah Tuhan, yang sebetulnya memberikan dasar dan arti (tujuan) pada semua itu,
tak terjawab oleh aku yang berfisafat ini.
Pada akhirnya HEIDEGGER merasa mencapai metafisika yang lengkap
dan sungguh-sungguh, jadi filsafat tentang ada yang sistematis. Hal ini
menjauhkannya amat dari pendapat KIERKEGGARD. Begitu pula berlainan
benar pendapatnya, karena dari eksistensi manusia tak dilihatnya jalan kepada
Tuhan, sehinnga filsafatnya mengandung cenderung kepahaman ateisme. Tetapi
bukanlah maksud kami mengatakan, bahwa HEIDEGGER itu seorang ateis.
3. Karl Jaspers (lahir 1883)
Lain daripada HEIDEGGER ada pulalah yang biasanya di sebut juga
eksistensialis, yaitu KARL JASPERS. Ia lebih setia kepada KIERKEGAARD
dalam penolakannya aturan umum apa saja, sedangkan pengertiannya tentang
Tuhan tidak terang dan penuh kebimbangan. Yang di pentingkan olehnyaa ialah,
bahwa individu tidak dapat dicapai dan di mengerti dari yang umum, melainkan
harus diterangi dari dirinya sendiri, sebagai seorang ini dalam keadaaanya yang
satu dan ada dalam sejarah ini. Dalam pada itu ia selalu diganggu oleh takut dan
ketiadaan yang dahsyat itu, tetapi tetaplah ia bertahan diri, karena ia memilih
dengan tegas ada-nya sendiri. Maka dari itu eksistensi itu terutama geschiechtlich,
artinya tiap-tiap manusia tertentukan oleh situasinya masing-masing. Untuk tiap-
tiap manusia situasi itu berlainan. Tetapi tidak seorang puas oleh karena
penguasaan situasi itu. Orang mulai menyelidiki, terutama jika sampai batas
situasi, yaitu jika ia berhadapan dengan peperangan (perjuangan), salah, sengsara
dan maut. Maka diselidikinya arti dan tujuan ada-nya itu. Penyelidikan ini terjadi
dalam komunikasi. Manusia itu dalam intinya memang terhubungkan dengan
yang lain. Dalam pertanyaan mengenai diri sendiri.
Demikian sampailah ia kepada metafisika. Adapun metafisika itu
menyelidiki transendensi, yaitu hal keluar dari dirinya serta mengatasi diri sendiri
serta dunia sekelilingnya. Transendensi ini adalah, jika manusia sungguh-sungguh
14
bereksistensi. Adapun bereksistensi atau bertransendensi itu dapat terjadi dengan
bermacam-macam cara. Bertransendensi yang benar-benar ialah jika aku berpikir
sambil mengatasi yang kupikirkan. Jadi budilah yang memaksa aku mengatasi
yang kupikirkan itu. Maka berhadapanlah aku dengan batas-situasi, dan dalam
pada itu nyatalah kepada aku, bahwa aku terhadapkan dan berhubungan dengan
yang transenden itu, yaitu yang mengatasi manusia dan dunia. Maka aku dapat
bertransendensi dengan berpikir dalam simbol (Chiffre). Chiffre ini hasil
transendensi kemanusiaan dalam sejarah : bahasa, mythos dan agama. Yang
sungguh-sungguh transendens sebenarnya tak terkatakan, boleh disebut dengan
istilah : Tuhan.
4. Gabriel Marcel (lahir 1889)
Di Prancis aliran eksistensialisme inipun amat terkenal dan ada beberapa
filsufnya. Antara lain GABRIEL MARCEL. Tulisannya yang terkenal : Journal
methapysique (1927) dan Le mystere de L’Etre (1951). Ia menyelidiki inti
manusia. Adapun manusia itu tidaklah mungkin ditunjuk dengan cara yang satu
macam saja, karena sifatnya yang utama ialah : ia selalu membentuk dirinya
dengan kemerdekaannya. Itu tidak berarti bahwa manusia itu ada seorang diri saja,
melainkan ia ada karena ada di dunia (etre-au- monde). Dalam pada itu ia selalu
dalam situasi, yang tertentukan dalam kejasmaniannya (incarnation). Situasi ini
tidaklah tetap, melainkan mengalami pengaruh manusia yang bertindak itu. Di
dunia manusia itu bertemu dengan manusia lainnya. Dalam pada itu ia mungkin
bersikap dua macam. Yang lain itu merupakan obyek baginya, maka yang lain itu
merupakan ‘dia’ (lui). Mungkin juga yang lain itu merupakan yang ada bagi aku
(presence), maka itu ‘engkau’ (toi). Aku ini membentuk diri terutama dalam
hubungan aku-engkau ini. Dalam hubungan ini kesetiaanlah yang menentukan
segala-galanya. Jika aku percaya kepada yang lain, maka setialah aku terhadap
orang lain itu, dan kepercayaan ini menciptakan diri aku itu (fidelite creatrice).
Setia ini hanya mungkin karena orang merupakan bagian dari dikau yang mutlak
(Tuhan). Kesetiaan yang menciptakan aku ini pada akhirnya berdasarkan atas
partisipasi manusia kepada Tuhan.
Adapun manusia itu bukanlah merupakan soal yang kita hadapi seperti
soal-soal lain, melainkan harus disebut rahasia kepercayaan (misteri). Ada aku itu
bukanlah ada yang mutlak, melainkan ada yang terhadap (berhubungan) dengan
ada yang lain-lain dan terutama dengan yang lain itu. Dengan kasih cinta kita
dapat makin mendekati ‘rahasia’ manusia itu.
5. Paul Sartre (lahir 1905)
Lebih terkenal dari MARCEL ialah PAUL SATRE. Tidak mudahlah memaparkan pendapat dan ajarannya dalam beberapa kalimat saja. Bukunya yang terkenal L’etre et le neant (1943). Jika diadakan penyelidikan secara fenomenologis maka nyatalah, demikian SATRE, bahwa ada itu terdiri atas dua, yaitu ada-pada- sendirinya, (l’etre-en- soi) dan ada bagi-sendirinya, (l’etre-pour- soi). Ada-pada sendirinya ini ialah ada pada hal-hal jasmani. Ada ini tak mempunyai penentuan lebih lanjut. Adapun ada-bagi- sendirinya ini ialah kesadaran. Kesadaran ini mempunyai sifat intensionalitas; ia
selalu terarahkan kepada yang lain. Kesadaran itu sama saja dengan terarahkan kepada yang lain itu. Kesadaran yang demikian itu disebut SARTRE peniadaan (neantisation). Di luar peniadaan itu hanya nihil : itulah ada yang menimbulkan nihil di dunia.
Dengan demikian tidaklah mungkin kesadaran itu bertemu dengan dirinya sendiri, sebab tak mungkinlah aku menyamakan diri aku dengan aku yangsekarang ini, sebab : aku selalu mengatasi aku serta meniadakan segala sesuatu yang ada pada aku. Itulah merdeka!. Kesadaran tidak mungkin disamakan dengan dirinya, tetapi juga tidak mungkin disamakan dengan kesadaran orang lain. Yang disebut cinta itu sebenarnya tidak lain daripada untuk mencapai kesamaan dengan yang lain itu dalam kesadarannya. Tetapi iti sia-sia belaka. Sebab kalau orang hendak demikian maka orang membuat orang lain sebagai suatu hal, maka tak ada hubungan yang sebenarnya. Mungkin orang itu sendiri membuat dirinya sebagai suatu hal yang dikuasai oleh orang lain, dalam pada itu tak mungkin juga ada hubungan yang sebenarnya. Kesadaran itu memang bercenderung bersamaan dengan yang lain dan dengan diri sendiri, jadi mau menjadi suatu hal dan kesadaran sekali gus. Untuk merealisir cita-cita ini lalu diciptakannya Tuhan. Dikatakan oleh orang bahwa Tuhan ini sudah cukuplah bagi diri sendiri (jadi sebagai suatu hal) dansebaliknya iapun kesadaran. Tetapi hal yang demikian itu mengandung kemustahilan, maka dari itu mustahillah ada Tuhan.
Maka dengan demikian filsafat SARTRE akhirnya sampai ke paham ateisme. Pengaruh SARTRE amat besar di Prancis, adapun penganutnya antara lain SIMON DE BEAUVOIR, ALBERT CAMUS. *Ajaran eksistensialisme yang ruwet ini rupanya malahan digemari orang kebanyakan juga, sehingga bukan ahli filsafatpun suka benar menyelidiki atau membacanya. Kemana arah eksistensialisme ini ekarang belum dapat ditentukan,tetapi teranglah merupakan pendorong kuat untuk menyelidiki dan mengetahui segala sesuatu dengan cara yang sekongkrit-kongkritnya, menyelami realitas
sepenuhnya.
C. Stadia (tingkatan)Bagi KIERKEGAARD ada tiga stadia (tingkatan) hidup : stadium
aestetis, etis dan religious. Tiga tingkatan ini bukanlah merupakan peralihan, yang
tak terasa, melainkan agak merupakan pertentangan, sehingga orang harus
meloncat dari stadium yang satu kestadium berikutnya. Orang yang dalam
stadium aestetis ialah orang yang derpikir tanpa gerak. Ia dapat memikirkan
tentang segala sesuatu, akan tetapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan itu : ia
tidak menyelaminya, malahan tidak menyentuhnya!. Orang ini berpikir secara
abstrak serta memandang hal-hal dalam kemungkinannya pada pandangan bijinya
semata-mata. Ia itu seorang positivis atau rasionalis. Pandangan orang yang
demikian itu hanya terarahkan kepada yang diluar saja.
Orang yang ada pada tingkatan etis berpaling dari alam luaran ini serta
mengarahkan perhatiannya kepada realitasnya yang ada di dalamnya sendiri. Tak
ada soal (pertanyaan) lain baginya dari pada kesalahan (kedosaan)-nya sendiri.
Kesungguhan dipandangnya tidaklah sebagai hal yang menyenangkan, melainkan
sebagai batin sendiri yang harus diubahnya. Renungannya tidaklah mandul, melainkan berpuncak pada tindakan etis, kelakuan, tetapi tidak memperlakukan
diri sendiri untuk diubah. Tetapi dalam stadium ini orang belum meninggalkan
yang umum karena ia mencari ukuran tingkah laku yang umum.
Dalam stadium ketiga, yaitu stadium religious, diputuskanlah segala
ikatan umum. Muncul manusia sebaga subyek yang individual dalam
hubungannya dengan yang kongkrit, yaitu dengan Kristus yang kongkrit dan
sungguh ada, Allah-manusia yang merupakan paradoks. Minatnya tidak lagi pada
diri sendiri melainkan pada Kristus, Tuhan yang hidup sebagai manusia dalam
waktu. Demikianlah manusia dalam stadium religious, ia ada dalam waktu, tetapi
berhubung juga dengan keabadian. Adapun hasilnya ialah perubahan manusia
karena imannya. Di situlah ia mengetahui eksistensinya.
Hal tersebut di atas itu dibentangkan oleh KIERKEGAARD dalam buku-
bukunya yang banyak itu. Adapun yang penting dalam pada itu dan kemudian
banyak diikuti orang, ialah bahwa dia menentang sistem umum dengan pengertian
yang abstrak serta pernyataannya, sebab itu dianggapnya menjauhkan orang dari
realitas yang kita hidupi dengan secara kongkrit. Menyelidiki filsafat hendaklah
diarahkan kepada realitas itu, kearah eksistensi kita yang individual, jadi kepada
suyektivitas yang bersifat manusia itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Eksistensialisme adalah suatu pemikiran yang menggema dengan pengaruh yang luas. Tema khusus dari eksisitensialisme ini sesungguhnya suatu kritikan tajam terhadap hasil-hasil yang timpang dari idealisme Jerman, yakni idealisme Hegel yang menguraikan bahwa pribadi individu itu dijabarkan pada suatu fase yang berkembang dalam ide absolut yang demikian kepenuhan eksistensi pribadi dijadikan ungkapan niscaya dari suatu konsep atau ide. Dan pokok dari pembahasan ini didapatkan bahwasannya eksisitensialisme adalah filsafat yang mengandung segala gejala dengan berpangkal pada eksisitensi. Secara umum eksisitensi berarti keberadaan. Secara khusus eksistensi adalah cara manusia berada di dalam di dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya. Berbeda dengan manusia. Benda-benda menjadi lebih berarti karena manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan , bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusia yang bereksistensI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar